Bulan Mei 2019 kemarin merupakan tonggak sejarah baru untuk kota Jakarta karena diluncurkannya moda transpostasi terbaru, yaitu LRT. Light Rail Transit demikian kepanjangannya, atau jika dalam bahasa Indonesia memakai kepanjangan Lintas Rel Terpadu adalah salah satu moda transportasi berbasis kereta listrik yang sekarang dimanfaatkan untuk mengurangi kepadatan lalu lintas di jalan raya Jakarta.
Mengenal LRT
Pertengahan Juli lalu kami berkunjung ke Jakarta. Sembari nge-mall.. (hehehe… kalo ke Jakarta itu kok nggak bisa lepas dari jalan-jalan di salah satu mal) di Mal Kelapa Gading (MKG), kami menyempatkan diri untuk mencoba LRT yang kebetulan stasiunnya berada tepat di depan MKG1.

Jika membandingkan LRT dengan MRT dan KRL yang sudah lebih dulu muncul, ketiganya tidaklah terlalu berbeda jauh. Semua moda transportasi ini menggunakan tenaga listrik untuk beroperasi. Hanya saja LRT dan MRT punya jalur khusus yang tidak bersinggungan dengan jalan raya, sementara KRL tidak. Jalur LRT adalah jalur layang yang berada di atas tanah.
Moda transportasi seperti ini keunggulannya lebih singkat waktu tempuhnya dan pembangunan jalurnya pun lebih cepat rampung dibanding MRT yang sebagian jalurnya berupa terowongan bawah tanah. Keunggulan lainnya mungkin dari segi keamanan karena tidak bersinggungan dengan kendaraan lain.
Jalur dan Stasiun LRT
Sementara ini, jumlah stasiun LRT yang sudah beroperasi baru lima stasiun. Penumpang hanya bisa menaikki LRT dari stasiun Boulevard Utara sampai stasiun Velodrome Rawamangun. Waktu kami coba sih LRT masih dalam tahap uji coba, jadi tiketnya masih belum berbayar. Oh ya, karena tiket masih belum ditarik biaya maka mesin tiket otomatis-nya (ticket vending machine) saat itu juga belum berfungsi.
Panjang total jalur LRT tahap ke-1 ini baru 5,8 km. Sekarang sedang berlanjut pembangunan untuk jalur tahap ke-2, yaitu dari stasiun Velodrome berlanjut hingga stasiun transit utama Dukuh Atas di Jakarta Pusat. Di antara stasiun-stasiun yang ada pada jalur tahap ke-2 tersebut, juga akan terintegrasi dengan moda angkutan lain seperti Trans Jakarta, MRT, KA Bandara, dan juga KRL.
Tiket Masuk
Jadi awalnya kami sudah siap-siap bawa kartu e-money, sampe dibela-belain top up dulu.. Ehh… pas sampe gerbang masuk peron, ternyata cuma dimintai KTP lalu ditanya jumlah orangnya berapa. Ternyata masa uji cobanya diperpanjang (bahkan sampe artikel ini di-publish, kami cek ke medsos LRT, mereka masih belum menarik uang tiket. Hanya sekarang cara masuknya berbeda aturan, yaitu harus menggunakan kartu e-money. Sila cek Instagram @lrtjkt untuk update infonya, barangkali kami ketinggalan berita, hehehe… medsos LRT-nya aktif juga kok).
Yang berkesan buat kami selama mencoba LRT adalah semua petugas LRT menyambut dengan ramah, serasa masuk bank bukannya masuk stasion LRT. Dari gerbang bawah, petugas keamanan sudah menyambut ramah dengan sikap welcome. Naik escalator ke atas disapa lagi oleh petugas yang lain, lalu diarahkan ke loket di mana mbak penjaganya juga menyapa hangat. Tiketnya diberikan hand to hand oleh si mbak, sampe keluar loket dulu. Apa mungkin waktu itu masih sepi? Kami jadi kikuk sendiri, hihihi.. Makasih yah mas/mbak untuk service-nya🙏🏼👍🏼
Peron LRT
Jadi peron LRT selalu punya dua anjungan, masing-masing anjungan untuk arah yang berbeda. Penghubung antar peron ini disambungkan oleh jembatan yang ada di atas jalur LRT. Lumayan sih naik turunnya kalo perlu nyebrang. Nah, peron-nya itu dibatasi dengan pagar setinggi hampir semeter setengah lah kira-kira. Bertutup kaca supaya kereta LRT-nya kelihatan donk… Dan di beberapa tempat ada pintu otomatis yang terbuka saat kereta LRT sampai.


Kondisi dalam LRT
OK, setelah mendapat tiket dan sedikit mempelajari sudut-sudut stasiun dari LRT, kami pun segera naik LRT begitu kereta datang. Di gerbong LRT yang didatangkan dari Korea ini, suasananya sangat mirip sekali dengan MRT. Bersih, nyaman, dan AC-nya dingin, tiga kata yang paling mewakili LRT. Saat itu, kereta yang kami tumpangi hanya terdiri dari tiga gerbong kereta saja.
Baca juga mengenai MRT dan segala informasinya di sini.
Jalannya LRT tidaklah secepat MRT, menurut info kecepatannya saat beroperasional sekitar 50km/jam. Sebetulnya kecepatannya bisa mencapai 90km/jam tapi mungkin demi keamanan dibatasi hanya sampai kecepatan tersebut. Jadi untuk menempuh lima stasiun yang sekarang beroperasional (Boulevard Utama menuju Velodrome) hanya butuh waktu sekitar 15 menit. Mmmhh.. cepet lhoo dibanding naik mobil.

Posisi duduk kursi juga sangat mirip dengan MRT. Di gerbong tertentu juga disediakan kursi prioritas untuk penumpang berumur, ibu hamil, atau yang membawa bayi. Juga ada space khusus untuk para penyandang disabilitas.

Perbedaan MRT-KRL-LRT
Perbedaan utama dari MRT, KRL, dengan LRT bisa dilihat dari beberapa aspek, seperti jumlah gerbong, daya tampung, dan juga jalur yang digunakan. Untuk mempermudah, kami tampilkan infografis berikut yah, yang kami ambil dari website MRT Jakarta:
Akhir kata, artikel ini sementara belum mewakili kondisi sebenarnya dari operasional LRT, tapi minimal bisa memberikan gambaran sepintas mengenai stasiun dan gerbong LRT-nya sendiri. Di lain kesempatan kami bisa naik LRT lagi dengan kondisi sebenar, kami tentu akan update lebih detail informasinya. Semoga bermanfaaat.
Kereta dan stasiunnya keren! Mengingat LRT di KL dan sebagian BTS di Bangkok stasiun layangnya nggak ada platform screen doors. Sayangnya jalurnya baru sependek itu, lebih kayak angkutan pengumpan aja. Semoga pembangunan tahap 2 segera selesai dan beroperasi.
Hm, kenapa peronnya dirancang dengan desain side platform ya, kenapa nggak island platform aja yang 1 peron besar di tengah lalu diapit 2 jalur kereta. Jadi gampang kalau mau berpindah peron.
LikeLike
ohh masak di KL ga ada screen doorsnya? bentar2 screen door itu yg pintu pembatas saat akan masuk ke LRT nya khan, mas?
Kalo di tengah, mungkin jembatan layangnya akan jadi terlalu lebar. Melihat pada LRT KL, peronnya juga sama dibuat side platform seingat saya
LikeLike
Kalo yang stasiun layang nggak ada, mas. Stasiun LRT di KL Sentral, Pasar Seni, misalnya, nggak ada pintu peron.
Ya, sebagian stasiun LRT memang side platform, seperti di KL Sentral. Tapi kalo kayak Pasar Seni itu island platform. Dari segi luas menurutku sama aja mas. Mungkin karena memudahkan konstruksi, biar jalurnya lurus menyatu terus tanpa ada bagian yang split.
LikeLiked by 1 person
ohhh saya ga pernah turun di Pasar Seni soalnya hehehe… ic ic, lebar tetap tapi jalur sedikit belok yah, thank u penjelasannya
LikeLiked by 1 person
wah jadi tau perbedaannya disini..
salam kenal tante..
ijin follow blognya ya..
LikeLike
Salam kenal juga.. Terima kasih sudah berkunjung..
Silakan bebas difollow, ga usa pake izin2 kok, hihihi… saya bukan pejabat, hanya rakyat jelata 😀
LikeLike